Membedah Struktur Argumen Pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan Berdasarkan Toulmin Model of Argument

 

Membedah Struktur Argumen Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan Berdasarkan Toulmin Model of Argument

 

 

Artikel ini bertujuan untuk menilai struktur argumen dalam penetapan kebijakan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Pulau Kalimantan yang disampaikan dalam Pidato Presiden Joko Widodo pada tanggal 16 Agustus 2019 di dalam Rapat Bersama anggota DPD RI dan DPR RI.

Struktur Argumen Menurut Toulmin

Suatu kebijakan menurut Stephen Toulmin, seorang filsuf berkebangsaan Inggris, bisa dibedah atau dianalisis berdasarkan 6 struktur pembentuknya yaitu (i) ground atau landasan awal (ii) pernyataan kebijakan (claim), (iii) pembenaran atau reasoning (warrant), (iv) dukungan argumen terhadap warrant (backing), (v) qualifier (frasa penentu seberapa pasti sebuah klaim), dan (vi) bantahan (rebuttal).

Pertanyaan pertama yang bisa diajukan untuk menilai klaim kebijakan pemindahan IKN ke Pulau Kalimantan adalah mengapa kebijakan itu diperlukan? Untuk menjawabnya harus ada informasi atau basis data yang digunakan sebagai landasan awal yang dijadikan pijakan untuk membuat klaim. Dalam tulisan ilmiah, ground ini disebut juga sebagai background atau latar belakang. Struktur argumentasi yang pertama ini pada dasarnya dapat memicu tanggapan atau interpretasi yang beragam karena yang disampaikan umumnya adalah data-data atau fakta yang sifatnya netral.

Struktur kedua adalah claim atau pernyataan yang dapat saja berupa opini, penilaian (judgment), atau kebijakan publik yang diambil oleh otoritas pemerintahan. Misalnya, dalam beberapa dekade terakhir abad ke-20 telah ditemukan hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa rokok terbukti memiliki hubungan dan meningkatkan resiko penyakit jantung dan kanker pada penggunanya (ground). Maka claim dapat berbunyi sebagai berikut “pemerintah akan mengambil tindakan/kebijakan untuk melarang peredaran rokok.” Pembentukan klaim yang mengikuti informasi yang ditampilkan sebelumnya pada akhirnya dapat dinilai sebagai konsekuensi logis atas premis yang dinyatakan sebagai temuan atau fakta tersebut.

Ketiga adalah warrant atau pembenaran (reasoning). Struktur yang ketiga ini diperlukan untuk menjembatani antara ground dengan claim yang disampaikan. Untuk contoh kasus rokok di atas, bisa dikatakan “Jika pemerintah tidak mengatur peredaran rokok dengan cara melarangnya, maka akan banyak penggunanya yang akan terkena penyakit jantung dan kanker yang pada akhirnya akan merugikan negara.” Jika ground menjelaskan dari mana kebijakan atau kesimpulan ini muncul, sementara warrant berperan dalam menegaskan kembali mengapa klaim itu dibenarkan.

Struktur yang keempat adalah backing atau dukungan terhadap struktur argumen sebelumnya (warrant). Terkait contoh ini “Karena banyak warga yang terkena penyakit tersebut produktivitas akan berkurang, pemerintah juga harus mengeluarkan biaya yang cukup besar dalam rangka meng-cover program BPJS.”

Kelima adalah qualifier, yang menjelaskan kedudukan atau derajat atas suatu claim. Dalam kasus tersebut dapat diterjemahkan bahwa “Pemerintah harus mengambil kebijakan untuk melarang peredaran rokok”.

Struktur yang keenam adalah bantahan (rebuttal), yang posisinya sebagai anti-thesis terhadap claim itu sendiri. Rebuttal membuka ruang debat atau ketidaksetujuan atas pernyataan atau kesimpulan suatu klaim. Untuk contoh kasus yang disampaikan di atas, sebagian pihak berpikir dan menyampaikan bantahan bahwa “merokok adalah pilihan pribadi setiap orang. Sekalipun pemerintah melarang peredaran rokok, itu hanya akan membuka penjualan di pasar gelap atau ilegal. Itu juga akan membunuh industri rokok, termasuk para pekerja yang begitu banyaknya.”

Dengan begitu pemerintah sampai pada satu kesimpulan (claim) sebagai berikut “Pemerintah akan mengatur regulasi peredaran rokok, membatasi penggunannya hanya pada usia di atas 21 tahun.”  

Struktur Argumen Kebijakan Pemindahan IKN Ke Pulau Kalimantan Berdasarkan Toulmin Model

Pemindahan IKN ke Pulau Kalimantan berangkat dari isu yang meyatakan DKI Jakarta sudah terlalu padat, kemacetan semakin parah, polusi udara yang tak terselesaikan, dan penurunan permukaan tanah. Apa yang menjadi penyebab semua ini adalah karena pembangunan selama ini masih berfokus di Pulau Jawa, terutama di DKI Jakarta dan sekitarnya. Implikasi dari pembangunan yang telah berlangsung begitu lama ini tercermin dari GDP yang lebih dari setengahnya berasal dari Pulau Jawa, sekitar 20 persennya berasal dari Pulau Sumatera, dan ¼ nya berasal dari Koridor Kalimantan, Bali & Nusa Tenggara, Sulawesi, serta Koridor Maluku & Papua (BPS, Kontribusi PDRB menurut Pulau 2023).

Data-data dan fakta tersebut (ground) yang kemudian dijadikan sebagai dasar dalam menetapkan klaim kebijakan pemindahan IKN. Klaim ini disampaikan Presiden saat Pidato Kenegaraan tanggal 16 Agustus 2019 dalam agenda Rapat Bersama DPD RI dan DPR RI, yang penggalannya sebagai berikut:

“…Saya mohon izin kepada rakyat Indonesia, para sesepuh untuk memindahkan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan.” Pernyataan ini yang disebut sebagai claim.

Jika dilihat dari pidato tersebut, Presiden Jokowi kala itu tidak menyampaikan landasan atau data dari mana kebijakan itu berangkat. Sebagaimana bisa disaksikan di kanal youtube Kompas (https://www.youtube.com/watch?v=x6U7Aebsu8k&list=LL&index=3) isinya hanya klaim otoritatif bahwa presiden mau memindahkan/ membuat IKN baru di Kalimantan. Pada kesempatan waktu yang lain, baru disampaikan landasan (ground) mengapa kebijakan itu diambil.

Warrant dalam klaim tersebut kira-kira sebagai  bertolak dari kebijakan pembangunan yang menyebabkan ketimpangan karean selama ini masih fokus pada pembangunan di Pulau Jawa, sehingga pemerintah merasa perlu untuk mengubah arah pembangunan dari Jawa Sentris menjadi Indonesia Sentris (Sambutan Presiden di IKN tgl 18 Oktober 2022, https://www.youtube.com/watch?v=8WiPsEliVn8).

 

Sedangkan dukungan untuk rasionalisi tersebut (backing) adalah perlunya kesetaraan dan pemerataan pembangunan, serta demi mengurangi beban yang ada di Pulau Jawa khususnya DKI Jakarta.” Di samping itu, backing juga dapat dipahami dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara.

Qualifier dalam kebijakan tersebut belum dapat teridentifikasi, barangkali suatu keharusan (absolutivism) atau sekedar mimpi yang tersirat dalam pidatonya “mau memindahkan ibukota negara ke Pulau Kalimantan.” Demikian juga untuk struktur anti-thesisnya atau bantahan (rebuttal) yang membuka ruang untuk debat dan diskusi publik juga tidak teridentifikasi. Misalnya dengan mempertanyakan dalam kondisi/ situasi/ limitasi apa sebetulnya kebijakan pemindahan IKN ke Kalimantan itu tidak diperlukan?

Namun, nampaknya pengambilan kebijakan tersebut tidak melalui proses diskusi dan debat publik sehingga masyarakat tidak bisa menangkap gagasan utuh atas ide pemindahan IKN ke Kalimantan.

Sejauh ini ketimpangan pembangunan terlihat begitu jelas jika dibandingkan antara wilayah Barat-Timur Indonesia. Sekalipun pemindahan IKN ke Kalimantan itu dipandang perlu, muncul pertanyaan misalnya kenapa lokasi yang dipilih tidak di Pulau Papua atau Maluku yang lebih merepresentasikan wilayah Timur? Atau karena demi alasan geografis perlu ditengah, mengapa tidak di Pulau Sulawesi atau Nusa Tenggara?

Bahwa betul Jakarta sudah demikian padatnya dan beban perkotaan pun semakin berat, pada saat bersamaan kapsitas daya dukung lahan pun berkurang bahkan permukaan tanah pun perlahan turun. Akan tetapi, apakah yang diperlukan adalah pemindahan IKN ke Kalimantan demi mengurangi beban perkotaan tersebut? Bagaimana dengan alternatif kebijakan lain seperti mengembangkan industri dan pusat-pusat pertumbuhan baru di Kalimantan dan pulau lainnya di seluruh Indonesia sehingga populasi penduduk perlahan akan menyebar ke luar Pulau Jawa?

Pertanyaan-pertanyaan di atas terkait dengan struktur rebuttal (bantahan) yang mengasumsikan seandainya ground itu memang benar, dan warrant juga terdengar rasional, apakah ada kemungkinan lain yang dapat membantah atau menyatakan kebijakan tersebut tidak tepat atau salah.

 

 

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Antara Kehendak Allah dan Usaha Seorang Hamba

JALAN DAN FUNGSI BAGI PENGGUNANYA DI TENGAH DEPLESI RUANG PUBLIK