JALAN DAN FUNGSI BAGI PENGGUNANYA DI TENGAH DEPLESI RUANG PUBLIK

Jalan merupakan public space (ruang publik) yang secara bahasa fungsinya dimiliki bersama oleh publik. Ya publik itu masyarakat secara umum yang menjadi bagian dari warga negara, baik dalam lingkup nasional, regional provinsi, kabupaten/kota, atau lingkup lokal yang terkecil.

Dengan begitu masifnya perkembangan kota sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi bekalangan ini, membuat volume dan intensitas pergerakan transportasi demikian meningkat. Untuk merespon itu, biasanya pemerintah melakukan pelebaran jalan pada beberapa jalan eksisiting dan menambah sejumlah jalan baru. Semua demi menunjang kelancaran mobilitas pengendara bermotor. Namun apakah mobilitas penduduk hanya menyangkut pengendara bermotor saja?

Indonesia, terutama kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, dan lainnya memiliki banyak tantangan dan persoalan yang beragam mulai dari isu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sejak ribuan tahun lalu, kota dibangun demi melindungi keamanan dan kenyamanan warganya. Seperti kata Aristoteles pengaturan terkait negara kota (politics/polish dalam bahasa Yunani) dibuat untuk kebaikan bersama. Sebagai contoh, larangan merokok di area publik tidak bertujuan menghilangkan hak-hak perokok, namun membatasinya (setidaknya di area tertentu diperbolehkan) dan demi melindungi hak-hak orang yang tidak merokok. Semuanya demi kebaikan bersama.

Fungsi jalan yang semula hanya untuk melayani kepentingan kendaraan otomotif, saat ini harus diubah atau digeser agar lebih inklusif. Ya kita butuh jalan yang memadai untuk menjaga kapasitas jalan terhadap jumlah kendaraan bermotor yang terus bertumbuh. Namun kebijakan itu bukan termasuk strategic policy, karena menambah kapasitas jalan ibarat melonggarkan seatbelt untuk seseorang yang obesitas hanya demi membuatnya nyaman semata kata Lewis Mumford seorang pakar sejarawan Amerika yang ilmunya multidisiplin. Pembangunan jalan baru juga pada akhirnya akan mengundang kemacetan-kemacetan baru (traffic-induced demand).

Berbicara transportasi perkotaan, sederhananya adalah tentang cara manusia berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dengan demikian alternatif transportasi perkotaan dapat dilakukan dengan berjalan kali, bersepeda, menggunakan motor (roda dua atau tiga), mobil pribadi, atau publik transport (BRT, LRT, KLR, tram dll). Di luar itu kita mengenal juga truk, dan kereta kargo namun kita keluarkan dahulu karena yang menjadi bahasan utama dalam tulisan ini adalah transportasi perkotaan.

Kepemilikan kendaraan bermotor, terutama mobil pada era mulanya disimbolkan sebagai bagian dari capaian status sosial yang tinggi. Motor, kendaraan yang begitu populer di Asia, terutama ASEAN, memiliki peran yang cukup vital terhadap transportasi penduduk Indonesia saat ini. Motor digunakan untuk bekerja, mengatarkan anak sekolah, mengangkut hasil panen, termasuk untuk berdagang secara ‘nomanden’. Saya sendiri tidak begitu memahami mengapa motor menjadi begitu populer di Indonesia dan sebagian besar negara ASEAN lainnya, terlepas dari penggunanya yang tidak harus mengayuh untuk dapat bergerak, harganya yang terjangkau dan efisiensi pemakaian bahan bakarnya.

Dengan meningkatnya urbanisasi, perkotaan di Indonesia bahkan dunia dihadapkan dengan sederet isu lingkungan, deplesi ruang publik (khususnya RTH), dan pada waktu yang bersaman dihadapkan dengan target penurunan emisi CO2, dimana hampir 70 persennya berasal dari kendaraan bermotor. Menerapkan kebijakan elektrifikasi kendaraan adalah satu dari setidaknya sepuluh prinsip yang dibutuhkan untuk membuat transportasi perkotaan yang berkelanjutan.

Kika diperhatikan sekarang ini banyak anak-anak yang tinggal di kawasan perkotaan dalam gang-gang sempit tidak lagi memiliki akses terhadap ruang bermain akibat ruang publik yang semakin berkurang berkat alih fungsi lahan. Namun mereka paham bahwa jalan merupakan ruang publik, sehingga bisa ditemui pada beberapa titik di gang atau jalan mereka ‘mentransformasikan’ fungsi tradisional jalan itu menjadi lapangan bola untuk sementara waktu.

Bermain bola di atas bidang tanah yang diaspal atau dibeton tidak semenyenangkan ketika di atas tanah atau rumput yang hijau. Mereka sadar akan hal itu. Namun bagi mereka hanya pilihan tersebut yang mungkin aksesibel sebab ketidakmencukupan supply public space di lingkungan tempat tinggalnya. Bagi mereka resiko terjatuh bukan satu-satunya ancaman karena masih ada faktor lainnya yang berasal dari pengendara sepeda motor.

Saat kendaraan bermotor terus meningkat, motor-motor semakin mengekspansi  gang-gang sempit ini yang tadinya jadi tempat yang relatif aman untuk berjalan bahkan bermain bola anak-anak,  sekarang mulai mengancam keberadaan para ‘pengguna’ jalan lainnya ini. Biasanya para pengendara motor melalui gang-gang ini demi memilih rute tercepat untuk pergi ke tempat tujuan atau untuk menghindari titik-titik kemacetan.

Bagaimana kita bisa menghadirkan ruang perkotaan yang aman, nyaman, dan menyenangkan bagi semua kalangan kita kita lebih mendahulukan kepentingan pengendara bermotor (roda dua atau empat) pribadi padahal pejalan kaki dan pesepeda juga memiliki kebutuhan mobilitas yang sama? Pendekatan pembangunan kota “First life (people), then space, then buildings” seharusnya menjadi acuan pembangunan kita ke depan. Kota yang tidak terus menerus memposisikan pengendara bermotor pribadi sebagai prioritas utama pengguna jalan. Namun justru mendahulukan kepentingan pejalan kaki dan pesepeda yang ramah lingkungan, dengan memaknai jaringan jalan atau transportasi secara inklusif. Tidak hanya menyangkut bidang ruang/tanah untuk memudahkan pergerakan kendaraan bermotor saja, namun juga memperhatikan kebutuhan para pejalan kaki dan pesepeda, serta mendahulukan pembangunan transportasi publik di atas kepentingan kendaraan bermotor pribadi.

Comments

Popular posts from this blog

Antara Kehendak Allah dan Usaha Seorang Hamba

Membedah Struktur Argumen Pemindahan Ibu Kota Negara ke Pulau Kalimantan Berdasarkan Toulmin Model of Argument